A. Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan hukum, pada hakekatnya
mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal.
Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi
problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan
dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen),
konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum
diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang
hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap
sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan
aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari
fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum
berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan
jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.
Penemuan hukum termasuk kegiatan
sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti
hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia
adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam
menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat
keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap
fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan
kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang
menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan
perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi
dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau
tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu
perkara atau masalah hukum. Dalam situasi seperti ini, seorang ahli
hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif
sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli
hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang
akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan
perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.
Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding.
Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada
dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama,
diantaranya yaitu :
a. Ia senantiasa harus mampu
menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan)
terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu
memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita
yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal
ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan
perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk
mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan
hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
b. Seorang ahli hukum senantiasa harus
dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan
perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi
di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat
Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan
didalam masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan
hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk
penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, juga
merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das
sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das
sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana
mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit
Salah satu fungsi dari hukum ialah
sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai
perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna
melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara
layak. Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara damai, normal
tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum
yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam
penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan. Dalam hal
penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat
ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata
lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus
ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya
nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Tanpa kepastian hukum orang
tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan
menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada
kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga
akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa
ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan
harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering
terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen
scripta).
Berbicara tentang hukum pada umumnya,
kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah
atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang
kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang
tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara
tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya
undang-undang tersebut tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an
sendiri yang merupakan rujukan kita (umat Islam) dalam menentukan hukum
akan suatu peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu
penafsiran (interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang
jelas dan dimungkinkan (terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu
penafsiran. Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak
hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim
tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan
putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas.
Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak
sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur
akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam
hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji
hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan
hukum (rechtsvinding).
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar “hakim”,
oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa
konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif.
Dan hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan.
Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber
hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit.
Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Atau lebih
lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses
konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein)
tertentu.
Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan
di atas, terdapat beberapa hal atau faktor serta alasan yang
melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan
hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap
pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut :
1. Bahwa kegiatan kehidupan manusia ini
sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak
mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas
dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan
yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak
ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan
jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak
jelas maka harus dicari dan ditemukan.
2. Perhatian dan kesadaran akan sifat
dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum,
ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal
dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang menjadi
pertanyaan, bagaimana dengan penerapannya.
3. Munculnya suatu gejala umum, yakni
kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian “besar” masyarakat
terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini hampir dapat
didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada. Menurut hemat
peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu
ketimpangan dari apa yang seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya
dalam proses penegakan hukum) dengan apa yang terjadi dalam
kenyataannya.
4. Kaitannya dengan gejala umum di atas,
dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus) yang ada, tidak jarang
hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis terhadap kasus yang
tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena
terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat
normative/positivistik) tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis yang
ada. Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan
yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas
kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara.
Alasan yang lain yang tentunya sangat
terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana seorang hakim
melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang sudah
menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat
mewarnai dalam setiap putusan yang dilahirkan.
Sumber :
http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/penemuan-hukum-atau-rechtsvinding/
pengertian multimedia hukum
BalasHapus